KULTWIT
You are here: Home » Mereka Bicara » Berbeda dan Rela Sendirian, Membedah ‘Viral Branding’ Fahri Hamzah

Berbeda dan Rela Sendirian, Membedah ‘Viral Branding’ Fahri Hamzah

Oleh Endy Kurniawan
Konsultan Media, Praktisi Komunikasi Digital dan Penulis Buku

“To define yourself, divide the public.” –Helfert.

BENAK konsumen politik maupun konsumen produk komersial, lebih mudah mengenali dan mengingat barang berbeda di antara yang sama.

Kita bedah soal branding sebagai awal dari penciptaan viral ini dengan studi pada Fahri Hamzah. Di linimasa dunia maya, politisi ini jadi bulan-bulanan sekaligus banjir pujian. Hal yang kemudian terbawa-bawa ketika publik bertatap muka, langsung dengannya.

Sebagai pemilik branding otentik kritikus pemerintah, anti kemapanan, pelawan oligarki yang penuh kontroversi, Fahri Hamzah sudah memulainya sejak lama. Pemberontak khas aktivis jalanan, satu ciri yang belum hilang.

Mengapa uniqueness kita bahas di depan, karena apa yang dilakukan di sini akan menentukan keseluruhan produksi dan distribusi media yang akan menjadi pemicu viral yang menjadi tema utama tulisan ini. Sempatkan juga membaca tulisan sebelumnya.

Kredibilitas yang dibangun melalui posisi yang jelas beda–berhadapan langsung dengan kekuasaan–menemukan momentumnya ketika terjadi gelombang ketidakpuasan di masyarakat. Politisi punya pilihan posisi ketika bertemu fakta: pemerintah berencana akan mengangkat jenderal polisi menjadi penjabat gubernur – yaitu : (1) mendukung pemerintah agar situasi keamanan kondusif, (2) mempersilakan pemerintah memutuskan karena lebih paham situasi, atau (3) pemerintah kurang kerjaan, ribuan birokrat lebih pantas daripada jenderal polri. Fahri memilih yang ke-3. Posisinya jelas di persespi publik. Satu kata: Lawan!

Bekal posisi yang jelas itu menjadi modal yang kuat untuk memproduksi konten yang sejalan dengan kredibilitasnya, sekaligus seirama dengan social mood yang sedang mekar di hati publik. Maka distribusi menjadi mudah, konten menjadi viral dan menjalar. Menjangkiti batin publik merambat melalui jempol yang tertambat di layar gawai atau sisanya melalui layar kaca dan media cetak.

Dalam kasus Fahri Hamzah, tidak perlu memproduksi konten yang halus-halus, kecuali dirasa publik–berdasar riset–nanti membutuhkannya. Produksi konten multimedia adalah artikulasi brand-nya. Haters mungkin bermunculan, tapi lovers dan new voters lebih banyak lagi berdatangan. Yang jelas, narasi yang dibawa dan digulirkan kemana-mana jelas dan tegas, karena cara itu membuat publik mengenali sosok seorang figur dengan cepat dan melekat.

Meski memang, menjadi berbeda tidak pula mudah. Seorang politisi yang unggul dalam komunikasi harus menggunakan riset yang mendalam untuk mendeteksi kelemahan pesannya dan mencari tahu potensi masalah yang mungkin muncul sebagai antisipasi. Tapi andai itu tak tercapai, ia harus mengetahui masalah apa yang terjadi (dan menjangkiti lawan politiknya) dan menggunakannya sebagai framing dalam bertarung. Seperti kata Daly, “whoever defines the problem wins.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top