Kemarin (15/5) saya menerima kunjungan dari saudara-saudara Suku Dayak Agabag yang tinggal di perbatasan Malaysia Kalimantan Utara. Mereka datang ke Nusantara 3 DPR RI mau berjumpa bang Fahri Hamzah. Mereka rindu, katanya.
Bagi Dayak Agabag yang sebagian beragama Katolik dan sebagian masih menganut Animisme tersebut, Fahri Hamzah dianggap keluarga dan salah satu pemimpinnya. Fahri Hamzah pernah mendapatkan gelar “NAMULOK KABUDAYA” yang artinya seorang pemimpin pelindung masyarakat yang menjaga keberagaman yang saling menghormati budaya”. Fahri mereka anggap sebagai salah satu bapak pelindung daerah Kabudaya dan Dayak Agabag.
Lima bulan yang lalu, Fahri Hamzah dan Timwas Perbatasan datang berkunjung ke Lumbis, Kabudaya. Mereka sambut meriah dengan upacara kehormatan yang luar biasa.
Fahri Hamzah pernah menyemangati orang-orang pedalaman dan perbatasan, yang jumlahnya ada 22 daerah yang sedang mengajukan diri untuk menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB), agar terus berjuang. Orang-orang pedalaman juga harus ada yang mampu jadi Menteri. Buktikan kalau kita tidak kalah dengan Jakarta, kata Fahri Hamzah.
Kemarin, perwakilan mereka datang ke DPR RI datang memberikan dukungan. Ada 5 orang perwakilan Dayak Agabag. Samadik, Lumbis, Jahari, Muriono dan R. Bubung. Mereka datang memberi dukungan kepada Fahri Hamzah. “Siapa bilang Fahri Hamzah intoleran dan anti-Pancasila?”, kata salah satunya. “Kami memang tinggal di perbatasan, tapi sepertinya, cara kami menawarkan persaudaraan dengan sesama anak bangsa, lebih tulus”, kata yang lainnya.
Terhadap kejadian di Manado dimana orang menghadang dan menolak Fahri Hamzah, mereka bingung. Tapi sikap mereka tegas, kami semua mendukung Fahri Hamzah. Kami akan berdiri melindungi Fahri Hamzah. Saya jelaskan bahwa akar pangkal penolakannya karena informasi palsu (hoax) dan ulah provokator. Mereka maklum.
Waktu saya tanya, apa benar ummat Islam yang demo 411 dan 212 dan seterusnya, termasuk Fahri Hamzah dan saya membenci suku dan agama orang?. Tidak, kata mereka. Jawabnya, kita sudah saling paham, saling mengerti batas. Kita bisa rukun karena saling menjaga. Ini mirip benar dengan kata-kata Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw ketika diwawancarai: “Bagaimana tanggapan bapak, Ahok divonis 2 tahun ?”. Jawabnya lempeng saja: “setuju”. “Bagaimana kalau ada penista agama ?”, jawabnya “tangkap”. Sesederhana itu.
Kepada aksi penolakan di Manado dan aksi anarkis pendukung Ahok di beberapa tempat serta aksi menyebar teror dan ancaman di media sosial, semalam Jokowi sudah mengeluarkan pernyataan keras ; “saya telah memerintahkan TNI dan Polri untuk tidak ragu-ragu menindak segala bentuk ucapan dan tindakan yang mengganggu persatuan dan persaudaraan. Yang mengganggu NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika”.
Bravo Presiden Jokowi. Inilah tanda paling terang, bahwa Ahoker yang anarkis ditinggalkan oleh Jokowi. Jokowi memilih bersatu bersama mereka yang menghormati hukum. Tidak bersama mereka yang marah (hanya karena satu orang melakukan kesalahan dan mendapatkan hukumannya), lalu melampiaskan kemarahannya dengan bertindak anarkis, merusak fasilitas publik, mengorbankan persatuan, dan -hingga ada yang- ingin melepaskan diri dari NKRI.
Saya setuju dan mendukung pernyataan Jokowi. Karena kian hari, di beberapa titik, aksi yang dipenuhi kekerasan dan mengabaikan aturan, dan pernyataan keinginan untuk merdeka kalau Ahok tidak dibebaskan, sesungguhnya adalah sikap radikalis.
Dan akhirnya sekarang terbukti. Ternyata bukan ummat Islam yang radikalis.
Entahlah dengan nasib Ahoker kemudian setelah Jokowi bertindak tegas menghardik dan memberi “warning” kepada mereka. Semoga semuanya baik-baik saja. Dan segera move on kembali ke pekerjaan membangun negeri ini. Tidak disandera perasaannya oleh penista agama.