KULTWIT
You are here: Home » Kultwit » GAK USAH JAGO, YANG PENTING SERIUS KERJA, MAFIA BERAS GAMPANG DITUMPAS

GAK USAH JAGO, YANG PENTING SERIUS KERJA, MAFIA BERAS GAMPANG DITUMPAS

Jika negara ini punya sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi yg hebat, seharusnya mafia-mafia dan pemburu rente ekonomi itu bisa diendus keberadaannya dari akar persoalan.

Sebagai contoh, isu impor beras kemarin. Negara dalam kondisi aneh. Publik saja bertanya-tanya. Ini produksi beras banyak, lagi musim panen kok tiba-tiba impor beras?

Seharusnya ini kan membunyikan “alarm” sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Memberantas mafia pangan tak cukup dgn jargon lalu kampanye, seperti parpol. Penegak hukum harus kerja senyap tapi sistematis.

Tidak gaduh, efektif, hasilnya kelihatan. Korupsi hilang mafia hilang.

Cara kerja senyap dan efektif itu butuh pemahaman mendalam terhadap relasi negara dan pasar.

Dalam spektrum relasi tersebut ada yg namanya kegagalan pasar (market failure) dan kegagalan pemerintah dalam mengelola pasar (government failure).

Di antara spektrum tersebutlah perilaku korup dan pemburu rente berkeliaran. Tidak perlu sadap-menyadap.

Cukup jeli perpikir dan bertindak aja. Ini yang saya sebut sebagai pendekatan siatem yang senyap tapi efektif.

Secara teori, adanya permainan harga dalam pasar beras adalah hal yg sangat mungkin. Karena struktur pasar beras ini bukan pasar persaingan sempurna melainkan pasar persaingan tdk sempurna (imperfect market).

Harga beras terbentuk tidak serta merta karena kekuatan tawar menawar yg imbang antara produsen dan konsumen.

Konsumen dalam posisi lemah dibanding produsen. Maka produsen bisa main-main dan mereka ini ketahuan kok siapa-siapa saja.

Catatan: produsen adalah penghasil beras yg membeli gabah dari petani untuk diolah jadi beras dan disimpan dalam gudang.

Produsen juga yg membeli beras dari impor (importir). Pemainnya mudah ditelusuri dan tentu ada datanya.

Mengapa posisi produsen bisa lebih kuat dibanding konsumen? Krn pemain dlm poduksi beras (membeli gabah, mengolah dan menyimpan) membutuhkan modal yg besar sehingga agar efisien membutuhkan skala produksi yg besar.

Ingat, bahwa padi tdk bisa panen sepanjang tahun, sehingga butuh gudang besar utk penyimpanan, butuh biaya besar pula utk distribusi krn konsumen menyebar sedangkan sentra beras hanya ada di daerah2 tertentu.

Sehingga jumlah produsen yg terbentuk dlm pasar relatif sedikit dibandingkan dgn jumlah konsumen (yg hampir semua rakyat indonesia butuh beras).

Nah, dlm teori struktur pasar, kondisi tersebut membentuk struktur pasar oligopolis.

Struktur pasar akan mempengaruhi cara atau strategi produsen menetapkan harga (pricing).

Kalo struktur pasarnya persaingan sempurna harga adalah given, produsen tdk bisa menetapkan harga semaunya (price taker).

Kalo struktur pasar monopoli, produsen bisa sebagai price maker, produsen bisa menetapkan harga semaunya. Kalau database negara kuat maka para oligopolis ini pasti ketahuan.

Nah, bagaimana kalo struktur pasarnya oligopolis? Tentu harga ditetapkan oleh beberapa produsen dgn berbagai strategi.

Biasanya harga yg terbentuk adalah hasil kompromi antara para oligipolis. Sehingga “nature”nya, harga yg terbentuk adalah kolusi.

Makanya struktur pasar oligopolis memunculkan istilah kartel. Dan dalam pasar beras ini indikasi kartel pasti ada karena naturenya adalah oligopolis.

Makanya beras tidak diserahkan pada mekanisme pasar, ada regulasi harga batas atas dan bawah serta ada Bulog yg menjaga stabilitas stok.

Kalo pemerintah bisa menjalankan perannya dgn baik. Menteri akur dan kompak dan tdk ada kongkalikong dgn pengusaha.

Seharusnya tdk ada masalah dgn regulasi dan institusi yg menstabilkan harga dan stok beras.

Tapi kalo semua berjalan aneh. Harusnya alarm pencegahan dan pemberantasan korupsi berkedip-kedip dengan sendirinya.

Dan inilah arti supervisi, koordinasi dan monitoring dalam UU No. 30/2002. Tugas @KPK_RI harusnya fokus di sini.

Tapi, kita semua punya perhatian lain. Sistem tidak perlu dibenahi dan rakyat terus menjadi korban sistem yang buruk.

Tapi sebagai korban yang menonton OTT yang mengasyikkan sehingga hilanglah rasa penderitaan. Demikianlah nasib kita.

Twitter @Fahrihamzah 16/1/2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top