Dalam Islam tidak ada dosa turunan..kita tidak ikut menanggung dosa Adam dan Hawa.
Waktu orde baru, anak keturunan Bung Karno jadi masalah. Lalu musim berganti. Anak keturunan Bung Karno berkuasa. Giliran anak keturunan Pak Harto dalam masalah. Bikin partai pun dirampas orang 😀. Kedewasaan kita anak cucu Adam diuji dalam setiap perjalanan.
Kesalahan kabinet Jokowi sejak awal adalah karena terseret pada dendam yang tidak jelas. Lalu orang membuat definisi, “Ooo ini dendam PKI toh, pantas Islam ditekan”. Maka runyam semuanya.
2 periode pak SBY jadi presiden kita tidak dengar situasi semacam ini.
Pak SBY itu tentara, menantu Jenderal Sarwo yang terkenal memimpin penumpasan PKI. Tapi, tidak kita dengar beliau terusik atau terganggu lalu memakai negara untuk menciptakan dikotomi di akar rumput massa. 10 tahun kita menikmati ketenangan dan pertumbuhan.
Semuanya kembali kepada pemimpin, bisakah ia mencipta musim perdamaian dan persahabatan? Atau apakah ia akan menciptakan musim perang? Kalau perang dengan negara lain mendingan. Ini perang dengan saudara sendiri. Dalam krisis pula. Mau dapat apa kita?
Kemarin saya mencari tahu mengapa saya kecewa sekali dengan komentar menteri agama tentang “Good Looking” dan rencana kementrian meneruskan kebijakan sertifikasi Muballigh seperti yang dulu dilakukan rezim Orde Baru. Saya masih cari tau….
Lalu saya menemukan alasan yang agak rumit. Ternyata karena saya sangat berharap bahwa kementrian agama adalah salah satu jurubicara penting dalam krisis pandemi global ini. Sebagian orang percaya betul bahwa virus ini kiriman Tuhan maka agama adalah medium komunikasinya.
Jadi kadang juga, saya terus memeriksa kembali mengapa kita harus berhadapan dengan pemerintah yang keadaan krisis ini seharusnya menjadi tempat bagi suara damai dan tenang agar kita melalui krisis ini bersama-sama.
Saya merasa, ini waktu kita untuk saling membesarkan hati dan saling menguatkan, sebab tidak pernah seluruh ummat manusia bahkan menghadapi ancaman krisis yang sama.
Pandemi global ini dalam waktu panjang akan mengoyak pondasi dasar kehidupan kita. Ini perlu kebersamaan.
Bisakah kita menggunakan momen ini untuk saling mendekati dan tidak saling menjauh? Apa sulitnya? Mengapa pemerintah menjadi polisi pikiran? Mengapa negara melakukan standarisasi pikiran? Sejak kapan kita kembali percaya bahwa negara harus melarang perbedaan pikiran?
Nasi belum menjadi bubur pak Jokowi. Meski ketololan berbicara para elit bikin rusuh rakyat yang sedang menyelamatkan diri dari serangan pandemi, para elite tetap harus mengatur agar kita bisa melihat agenda bersama sebagai bangsa, agenda yg mempersatukan.
Tapi nasib pemerintah ini bukan nasib rakyat. Pemerintah sikih berganti rakyat akan tetap ada. Jadi kalau pemerintah tidak relevan maka rakyat akan selalu relevan. Silahkan mau pilih yang mana. Wassalam.