Saya ingin tuntaskan tulisan tentang jualan ketakutan di 2018 yang dimainkan oleh satu KELOMPOK sebagai modus untuk menguasai ingatan dan mood politik publik.
Sekarang mood itu dipakai untuk menolak Prabowo setelah gagal mereka pakai untuk menolak Anies Baswedan 2017 lalu.
Sebagai warga negara kita perlu menetralisir imajinasi dan mood publik.
Agar perdebatan pada awal tahun 2019 nanti benar² dicerna dengan akal sehat dan tanpa rasa takut.
Kita tentu ingin melihat kapasitas pemimpin apa adanya.
Jangan besar bayang dari orangnya.
Dalam Pilkada Jakarta, hampir saja rasa takut menyebar tidak saja di ibukota.
Tapi di seluruh nusantara. Hampir saja perpecahan akibat Pilkada di satu titik menjadi beban seluruh bangsa.
Di sini saya katakan apresiasi kepada Agus Yudhoyono dan mpok Sylvi yang berada di posisi tengah.
Alhamdulilah, akhirnya pemilu kepala daerah ibukota berlangsung relatif aman.
Meski residunya muncul di mana-mana.
Suatu hari saya ke Manado, saya dihadang oleh sekelompok orang bersenjata, Ustadz UAS, Ust Zul, dll juga kena akibat padahal kami semua bukan Tim Sukses.
Kita yang bersaudara jadi bersengketa padahal kita tidak punya hubungan apapun dengan Pilkada DKI, nyoblos juga tidak. Tapi itulah, rasa takut membuat kita menjadi tidak rasional dan itu target mereka. Mereka tidak mau pemilih itu cerdas, mereka bikin kita gila.
Dalam Pilkada Jakarta, digambarkan seolah-olah kalau Anies-Sandi menang, ibukota akan jadi tempat bahaya. Jakarta akan penuh intoleransi karena swiping akan ada di mana-mana dan orang berjubah sorban akan melakukan sembarangan melakukan razia.
Pilkada Jakarta digambarkan seolah sebagai momen yang sempurna bagi persekongkolan kelompok² intoleran dan anti kebhinekaan.
Di dalamnya ada Prabowo, Anies Baswedan, Sandiuno dan para ulama yang anti NKRI. Begitulah kecemasan dipompa jadi komoditi politik.
Alhamdulilah Anies Baswedan dan Sandiuno memimpin ibukota, tidak ada masalah. Kedua pemuda putra bangsa yang cemerlang itu membuat kita bangga.
Mereka punya pergaulan dunia. Wajarlah pada mereka tertambat optimisme bangsa ini.
Bung Anies Baswedan adalah sahabat saya sejak mahasiswa. Dia aktifis mahasiswa Jogja yang berbakat.
Kalau datang dari Jogja sebagai ketua senat mahasiswa UGM kami jumpa dan berdiskusi situasi pergerakan mahasiswa di Salemba (UI).
Memang dia mahasiswa cerdas. Sekolahnya bener.
Suatu hari di tahun 1997 sebelum meletus aksi² mahasiswa kami mengundang pak Amien Rais untuk berbicara di Cikini, Taman Ismail Marzuki. Kami naik bajay bertiga pak Amien dari pusat PP Muhammadiyah di Menteng. Kami bersemangat mendengar ide suksesi.
Jadi kalau hari ini Anies Baswedan menjadi pemimpin itu sudah bener.
Jalur dia memang aktivis. Rasanya Jakarta sekarang tenang dalam pimpinan beliau. Itu pula sebabnya Pemilu 2019 juga relatif hangat karena ibukota tidak menyulut api seperti sebelumnya.
Kombinasi Anies Baswedan dan Sandiuno ideal bagi ibukota. Kota ini nampak berkelas dan dialognya sehat.
Kini Sandiuno dipilih mewakili Prabowo untuk memimpin negara tahun depan, mari kita pilih secara waras kandidat kita masing².
Jangan cemas.
Jangan percaya kepada kelompok provokator yang menganggap Indonesia di bawah Prabowo dan Sandiuno akan jadi mundur, intoleran dan anti kebhinekaan.
Sebab orangnya sama saja. Mereka bohong di ibukota dan mereka mau bohong di seantero negara.
Jangan percaya.
Sejak peralihan rezim otoriter hingga amandemen konstitusi 4 kali sampai sekarang, Indonesia telah dipimpin oleh akal sehat. Kekuasaan sebesar apapun akan kita kendalikan.
Kecuali yang tidak punya akal sehat.
Bikin sulit pengendalian.
Seperti ibukota, mari optimis dengan pemilu 2019 aman dan damai dan insya Allah jangan mau dibikin cemas.
Pilkada DKI telah membuktikan bahwa bangsa ini waras.
Itu saja.
(Twitter Fahrihamzah 27/12/18)