Mulai banyak yang mengingatkan pemerintah soal utang negara. Sebenarnya utang pemerintah karena rezim yang berhutang. Tapi bebannya berlanjut, siapapun yang berkuasa harus komit bayar hutang. Belakangan kajian Bank Dunia mengingatkan soal Infrastruktur.
Capres Prabowo paling sering mengingatkan dalam buku yang beliau tulis Paradoks Indonesia (nanti saya tulis khusus). Bahkan beliau menyebut hutang sudah mencapai 9000 Trilyun Rupiah mengutip data Moody’s dari Bloomberg.
Saya sendiri layak menilai perkembangan hutang tak terkendali akibat sejak awal pemerintah tidak merencanakan hutang dengan baik. Sekarang infrastruktur misalnya yang entah dari mana rencana, akhirnya akan mengorbankan BUMN kita. Lihat saja nanti.
Infrastruktur yang dibangun secara ugal-ugalan akan jadi bencana besar bagi perekonomian… penugasan kepada BUMN itu yang paling akan melahirkan skandal di masa depan. BUMN baru semacam Inalum saja sudah penuh skandal. Apalagi yang lama.
Akibat proses politik yang tidak lancar, sebetulnya presiden Jokowi dan DPR RI punya masalah dalam pengawasan BUMN. Sejak menteri BUMN dilarang rapat oleh DPR akibat keputusan pansus angket Skandal Pelindo 2, kementerian BUMN berpotensi menyimpan masalah.
Ini membuat pemerintah dan DPR RI sebagai pemilik BUMN tidak mendapatkan informasi yang benar tentang keadaan BUMN kita sebenarnya; berapa hutangnya, berapa untungnya dan ada potensi masalah apa? Ini yang dijelaskan dalam konsep Prinsipal Agent Problem.
“Principal Agent Problem” terjadi ketika sebuah entitas atau pemilik (principal) mendelegasikan tugas manajerial kpd entitas/instansi lain (agent), tapi pemilik tidak memiliki informasi yang utuh tentang bagaimana sang agen menjalankan tugasnya secara teknis dan mendetail.
Adanya ketimpangan informasi ini menyebabkan potensi moral hazard oleh pihak yang memiliki informasi lebih kepada pihak pemilik yang minim informasi. Ini natural saja. Karena pemilik biasanya tidak peduli dengan soal detil.
Kecenderungannya, untuk kepentingan kinerjanya sang agen hanya memberi informasi yang baik-baik saja kepada principal, informasi yang tidak menyenangkan disimpan dalam-dalam. BUMN belakangan sering sekali nampak berdandan di depan pemiliknya.
Selanjutnya terjadi penyimpangan kepentingan oleh agen, sehingga hasil akhir dari kebijakan-kebijakan agen tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemilik (principal).
Ini adalah akumulasi yg tidak nampak di awal tapi akan meledak di ujung.
Ini adalah teori umum dalam dunia manajemen, dalam praktek kejadian seperti ini sudah umum juga baik dalam dunia bisnis maupun politik (pemerintahan). Bahkan skandal-skandal besar dalam dunia politik dan bisnis dimulai dari problem ini.
Dasar teori ini saya pernah pakai untuk mengungkap skandal bail out bank century yang merugikan negara triliunan rupiah dan detail skandal “perampokkan” uang negara ini saya rangkum dalam sebuah buku “kemana Ujung Century?”.
Ketika tugas di komisi 6 yang membawahi dan mengawasi kementerian BUMN, teori ini juga saya gunakan untuk mengawasi perilaku BUMN. Dan saya rekam perjalanan pengawasan BUMN itu dalam sebuah buku berjudul “Negara, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat”.
Sekarang mari kita pakai teori ini untuk mengungkap utang negara rezim Ini. Utang negara itu dibagi dua, utang publik (pemerintah dan BI) dan utang swasta. Jadi yang banyak kita bicarakan ini adalah utang publik krn menyangkut urusan publik dan terkait dgn APBN secara langsung.
Jadi ketika negara ini punya utang, yang punya utang secara riil adalah rakyat bukan pemerintah, pemerintah tugasnya sebatas manajerial. Dampak akhirnya rakyat yang mengalami, apakah utang itu bikin sejahtera atau sebaliknya.
Jadi ketika pemerintah bilang utang kita masih aman, itu perspektif manajerial. Bahwa kita gak mungkin gagal bayar. Itu kepentingan agen dgn kreditur. Bagi rakyat sebagai pemilik adalah kesejahteraan. Apakah penumpukkan utang ini bikin sejahtera atau tidak?
Untuk melihat dampak utang bagi kesejahteraan kita lihat saja postur APBN kita. Untuk APBN 2019 ini, dari total belanja 2.439 T, alokasi bayar bunga utang saja sebesar 275,9 T jika ditambah cicilan utang 92 T Bunga+cicilan yg hrs dibayar sebesar 367,9 T.
data tersebut dapat kita Lihat dalam gambar grafik di bawah ini. Meneruskan keterangan dibatas, Artinya 15% dari belanja ABPN habis untuk bayar bunga + cicilan utang.
Sumber: https://t.co/cYwcskpXju
Jelas angka tersebut adalah beban bagi APBN. Dan beban ini membuat alokasi anggaran untuk kesejahteraan semakin menyempit dari tahun ke tahun. BPJS kesehatan yang defisit 10 T saja tidak bisa ditolong oleh APBN. APBN kita jelas tersandera Utang.
Bahkan Menkeu sendiri tiap tahun selalu mengakui kalo APBN kita gali lobang tutup lobang. Ditandai keseimbangan primer yang masih defisit 20,1 T tahun 2019. Artinya pemerintah akan menerbitkan utang baru sebesar 20,1 T khusus untuk bayar bunga utang.
Selayaknya kita berumah tangga, jika kita utang hanya untuk membayar bunga utang yang terus membengkak apakah keuangan rumah tangga itu bisa dikatakan sehat dan aman? Ini namanya terlilit utang atau terlilit rentenir.
Bagaimana pula utang dikatakan produktif kalo penambahan utang 20,1 T hanya untuk bayar bunga utang saja. Ini kan logika dan pertanyaan sederhana saja. Di sebut produktif harusnya ketika pokoknya mulai dibayar dari hasil kelola utang yang produktif.
Kalo pemerintah tidak merasa kuatir dengan utang kita, itu karena perspektif yang dipakai adalah manajerial, walaupun utang sebesar apa yang penting tidak gagal bayar. Kepercayaan kreditur dan pasar terjaga. Walaupun harus mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Bagi pemberi hutang, yang penting kita membayar, mau ngutang lagi mereka gak peduli. Mau jual semua harta sampai bangkrut mereka gak peduli. Mau gadai semua harta warisan dia gak peduli. Nah, mengurus negara pemerintah harus bertanggungjawab.
Karena yang menanggung semua dampak membengkaknya utang pemerintah baik dalam jangka pendek maupun panjang adalah rakyat. Jadi gak salah kalo Prabowo bilang setiap bayi lahir langsung menanggung beban utang 9 juta rupiah atau bahkan lebih.
Karena pendapatan pajak dan kekayaan alam yang seharusnya bisa untuk mensejahterakan rakyat tergerus hanya untuk membayar bunga utang yang jumlahnya ratusan triliun setiap tahun. Sungguh ini adalah kejahatan kepada anak cucu kita.
Seharusnya kan kita mewarisi piutang, bukan mewarisi hutang. INDONESIA seharusnya dangan kekayaan yang ada setidaknya tidak tersandera oleh keharusan berhutang. Seharusnya Indonesia bisa menjadi mitra investasi. Bukan tukang hutang. Sekian.
Twitter @Fahrihamzah 7:22-8:28 12/1/2019