Ada kekhawatiran sebagian kalangan melihat langkah keempat Partai Politik menyebut nama dalam pandangan Fraksi atas pemeriksaan Panitia Khusus beberapa waktu yang lalu. Mengapa penyebutan nama dianggap sangat penting?. Sudah sangat jelas bahwa penyebutan nama memiliki konsekuensi yang sangat signifikan terhadap jalannya kasus century di masa mendatang, Penyebutan nama menunjukan adanya pihak-pihak yang patut diduga bertanggung jawab dibalik pengucuran dana talangan sebesar 6,7 trilyun ini. Bentuk tanggung jawab itu tentunya harus berbuntut pada perlunya tindak lanjut proses hukum, karena tidak ada seorang pun yang semestinya ”kebal hukum”.
Semestinya penyebutan salah satu nama yang patut diduga bertanggung jawab, seperti nama Mantan Gubernur BI, Budiono haruslah dianggap suatu hal yang wajar, namun banyak kalangan yang ”gerah” terhadap langkah empat Fraksi tersebut, mengingat posisi Budiono sebagai wakil presiden saat ini. Berbeda dengan pihak-pihak lain yang hanya menjalani proses hukum dalam sistem peradilan pidana, jabatan ”khusus”nya mengharuskan mekanisme melalui peradilan khusus apabila sebagian besar anggota DPR setuju memproses kasus ini ke tingkat lanjutan, yaitu mahkamah Konstitusi (MK). Dalam konteks ini, sering disebut sebagai impeachment atau proses pemakzulan. Impeachment tidak lah semudah proses hukum biasanya karena harus didahului oleh beberapa tahap. Apabila salah satu point dari hasil kesimpulan atau rekomendasi sidang paripurna tanggal 4 Maret lusa menyebutkan Budiono sebagai salah satu pihak yang diduga bersalah, hal ini masih harus dapat diteruskan dan diperkuat sampai ke tingkat berikutnya, yaitu pernyataan pendapat DPR, yang mekanismenya harus disetujui oleh ¾ dari ¾ anggota DPR yang hadir.
UUD 1945 dan Undang-Undang MPR,DPR dan DPD (UU MD3) menyebutkan secara gamblang, salah satu alasan pernyataan pendapat DPR, yaitu adanya dugaan bahwa Presiden dan atau wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, yang berupa lima hal : penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat (diancam dengan hukuman 5 tahun) dan perbuatan tercela. Sebagaimana telah disebutkan, sudah pasti, yang memiliki kewenangan menentukan apakah memang pelanggaran hukum telah terjadi adalah bukan lembaga DPR sendiri, namun Lembaga Peradilan Tertinggi, dalam konteks ini adalah Mahkamah Konstitusi (MK).
Selajutnya,MK memiliki dua pilihan dalam merumuskan putusannya, yaitu memperkuat pernyataan pendapat DPR, artinya, menerima permohonan atau yang kedua, menolak permohonan. Penolakan permohonan berarti pelanggaran hukum yang disangkakan dianggap tidak terbukti, Sedangkan penerimaan permohonan memiliki konsekuensi diteruskannya kasus ini ditahap berikutnya yaitu, paripurna MPR, yang menentukan apakah meneima putusan MK atau justru sebaliknya, yaitu menolak. Apabila paripurna MPR menolak, pemakzulan tidak dapat dilakukan. Namun, Apabila paripurna MPR menerima putusan MK, maka sudah tentu, pemakzulan wakil presiden disetujui. Selanjutnya, MK sendiri membuka ruang ”diadilinya” wakil presiden pada peradilan yang lain, baik Pidana, administrasi maupun perdata.
Proses ini masih sangat panjang, sehingga kekuatiran sebagian kalangan itu menurut saya tidak pada tempatnya. Kita mengetahui, bahwa proses pemakzulan tidak sekedar bernuansa politik, namun juga menjunjung tinggi rule of law atau supremasi hukum karena melibatkan institusi peradilan yang saat ini kita anggap memiliki kredibilitas yang sangat tinggi, yaitu MK. Lalu, apa yang mesti ditakutkan? Ongkos demokrasi memang tidak murah, apabila kita mencita-citakan demokrasi yang substansial bukan sekedar prosedural, yaitu demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kesetaraan. Proses ini menunjukan, bahwa tidak ada seorangpun di atas Republik ini yang kebal hukum, karena negara ini bukanlah ”kerajaan” atau dimiliki segelintir orang, namun negara ini adalah negara republik, yang dibangun diatas pondasi supremasi hukum dan keadilan.
Membuka Kasus Agar Terang Benerang
Dalam banyak kesempatan, saya menyampaikan, bahwa saya memahami dan bahkan menyetujui keinginan Presiden, agar kasus century ini dibuka selebar-lebarnya, agar menjadi terang benerang. Lalu, apabila sudah menjadi terang benerang, apakah kita harus menetup kembali, hanya karena orang nomor dua negeri ini patut diduga turut bertanggung jawab atas skandal Bank Century ini? Pandangan Fraksi PKS,misalnya, selalu menyertakan ” patut diduga”, karena kami tidak bermaksud menghakimi, karena kebenaran menurut kami ini harus diuji oleh lembaga peradilan. Itulah demokrasi. Namun, penyebutan nama wakil presiden tentunya bukannya tanpa alasan. Budiono dan beberapa pihak yang lain patut diduga bertanggung jawab khususnya terkait pemberian Penyertaan Modal Sementara (PMS) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) untuk Bank Century. Bahkan, pemberian FPJP untuk Bank Century telah memenuhi unsur Pasal 2 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penyebutan nama = melanggar etika dan hukum?
Sementara ada pihak yang menyatakan penyebutan nama melanggar hukum dan etika, saya berpendapat justru sebaliknya, penyebutan nama ini tidaklah melanggar hukum maupun etika. Menurut pihak tersebut, penyebutan nama dianggap telah melanggar etika, karena proses yang ada adalah proses penyelidikan, yaitu proses yang hanya menentukan apakah telah diduga adanya tindak pidana atau tidak. Sedangkan penyebutan nama atau menemukan orang yang diduga melakukan tindak pidana itu, ada pada proses selanjutnya, yaitu penyidikan. Masih menurut sebagian pihak tersebut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1954 tentang Angket (UU Angket) tunduk terhadap ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan hukum formil pada sistem peradilan pidana. Proses angket ini adalah proses politik, bukan hukum. Pertanyaannya, apabila proses angket merupakan proses politik, apakah juga harus tunduk terhadap pakem-pakem hukum yang berlaku?
Baik, sekalipun jawabanya ya, Saya berpendapat, tidak ada satu peraturan pun yang dilanggar oleh keempat Fraks itu karena menyebut nama dalam pandangannya. Pertama, UU Angket tidak mungkin merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena UU Angket dibuat jauh sebelum disahkannya KUHAP. UU Angket disahkan tahun 1954, sedangkan KUHAP disahkan tahun 1981. ini apabila kita berbicara common sense. Tidak mungkin Undang-Undang yang diterbitkan sebelumnya (1954) merujuk Undang-Undang yang disahkan dimasa mendatang (1981). Selain itu, Pasal 12 UU Angket, KUHP (warisan kolonial belanda) berlaku dalam hal, misalnya, apabila ada saksi yang mangkir memberikan keterangan di depan pansus. Artinya, saksi tersebut dapat diproses secara pidana.
Kedua, saya berpendapat, Pansus hak angket tidak bisa disamakan degan penyelidik pada umumnya. Pansus adalah bukan ”sekedar” penyelidik sebagaimana yang dimaksud oleh KUHAP. Pansus tunduk terhadap rezim Hukum Tata negara (HTN). Pansus berlandaskan pada Konstitusi, UU MD3 dan UU Angket. sedangkan penyelidik pada umumnya tunduk terhadap KUHAP. Baik, untuk menguatkan, apakah didalam KUHAP disinggung, atau disebut, Pansus DPR sebagai penyelidik? Ternyata tidak, Pasal 4 KUHAP menyebutkan penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Lalu, kalau Pansus DPR bukan dikategorikan sebagai penyelidik, sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP, apakah yang dilakukannya harus diartikan sebagai ”penyelidikan” sebagai mana yang dimaksud didalam KUHAP? Artinya, apakah penyebutan nama oleh Pansus tetap harus dianggap telah melanggar hukum dan etika?
Saya memandang penyebutan nama sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap rakyat. Rakyat harus mengetahui seterang-terangnya apa yang terjadi dalam kasus century. Tidak mungkin suatu perbuatan ada, tanpa ada penangggung jawab atau yang melaksanakannya. Ini adalah suatu konsekuensi logis saja. Sekali lagi, tidak ada pretensi apapun dalam mengungkap kasus ini, selain menjadikan kasus ini terang benerang. Rakyat harus diberikan fakta apa adanya. Kejujuran merupakan nilai yang yang telah ditanam orang tua kita sejak kecil. Bukankan orangtua kita membiasakan kita dahulu untuk berlaku ksatria dan jujur, mengakui perbuatannya apabila bersalah atau khilaf? Ilustrasinya, Apabila anak jatuh ketika berjalan, kita tidak akan menyalahkan ”kodok” yang entah dimana, bukan? namun kita ”menyalahkan” anak agar lebih berhati-hati apabila berjalan. Untuk itu, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan itu harusnya berlaku bukan hanya bagi anak-anak kita dan rakyat jelata namun juga yang utama bagi pemimpin negeri ini.