KULTWIT
You are here: Home » Kultwit » PKS SAATNYA INTROSPEKSI

PKS SAATNYA INTROSPEKSI

Hari Jumat bagi saya di PKS adalah hari introspeksi. Saya selalu terkenang saat musibah, gempar saat pimpinan partai ini ditangkap KPK karena korupsi. Yang tidak terlibat tidak bisa merasakan. Jum’at adalah hari menakutkan kalau lagi duduk depan khatib dan PKS jadi bahasan.

Khatib Jum’at membahas moralitas politisi dan PKS menjadi contoh paling jelek. “Ada partai Islam, banyak ustadz di dalamnya ternyata korupsi juga, bla..bla…bla…”. Sembur sang khatib, duh malunya. Ingin rasanya Jum’at cepat selesai dan aku pergi.

Para pimpinan PKS sekarang kurang introspeksi. Kalau sudah sekali salah selanjutnya terus melakukan kesalahan untuk membiasakan bahwa yang kemarin itu gak salah. Lalu melangkah membabi buta tabrak kiri tabrak kanan. Jamaah berantakan.

Sayang sekali, karena sudah hampir masuk 2019 dan hampir 4 tahun gejolak didalam tidak diselesaikan. Islah mensyaratkan ego, pimpinan tidak boleh salah dan pimpinan sama dengan partai, melawan pimpinan adalah melawan partai. Sungguh tragis.

Kita tahu apa yang terjadi secara kasat mata, tapi dalam kepemimpinan tertutup, membuka apa yg terjadi menjadi sebab hukuman yang sangat keras. Apa yang bisa kita sembunyikan di abad 21 ini? Ini demokrasi di era teknologi digital yang bersenyawa dalam dunia maya.

Berharap orang akan percaya kepada pimpinan yang menolak berargumen secara terbuka adalah masa prasejarah. Tabiat itu tidak ada lagi di abad ke -21. Ini abad keterusterangannya dan kita tidak bisa sembunyi lagi di balik topeng wibawa agama atau hirarki yang kaku.

Sayang sekali, pimpinan PKS terus saja melangsungkan politik pengetatan dan pemecatan. Orang lagi bertempur tapi pasukan gonta ganti. Alasan tidak pernah ada dan persidangan dianggap tidak perlu, pimpinan dianggap dapat menentukan masa depan pribadi. Hebat!

Sebagian kader belum sadar bahaya feodalisme yang masuk dalam tradisi berjamaah dan berpartai. Padahal feodalisme ini nanti yang merusak merit sistem dalam jabatan publik. Orang didukung bukan karena cakap tapi karena menjilat.

Partai adalah fasilitator bagi pejabat publik, jabatan dalam negara. Itulah sebabnya, partai harus dikelola dengan budaya yang sepadan dengan apa yang hidup dalam negara yaitu budaya demokrasi. Sehingga begitu ia pindah ke ruang publik ia terbiasa.

Tapi, kalau budaya feodal yang bekembang, dan kalau orang mendapat jabatan karena restu orang tertentu maka nanti jabatan yang diperoleh akan digunakan untuk yang memberi restu. Budaya pun tidak cocok dan tidak menyatu dengan kelembagaan publik.

Lalu, begitu orang mulai kritis dan menyatakan pendapat berbeda, kontan dijawab, “Orang itu tidak berterima kasih sudah dikasi jabatan”. Atau “Kalau bukan karena partai dia bukan siapa²”. Atau, “Dia makan dari jabatan yang dikasi partai”. Ini bahaya sekali.

Penggunaan idiom ini sekarang marak di dalam, sehingga orang menjadi pejabat publik seperti diancam untuk tidak punya pandangan yang berbeda. Padahal, sejatinya partai adalah milik bersama, bukan milik yang sedang memimpin.

Lebih dari pada itu, partai politik sekarang dibiayai negara karenanya tidak bIsa melepas diri dari keterbukaan dan pertanggungjawaban. Publik berhak tau kenapa si A diganti, kenapa si B dipecat, kenapa si C dapat promosi padahal tak ada prestasi?

Kasus terakhir di Kalimantan Timur kemarin, “Pemecatan 25 Desember 2018” itu adalah bukti bahwa Pimpinan PKS sekarang semakin jauh dari kultur partai moderen dan menjauhi budaya demokrasi dalam negara. Sungguh disayangkan.

Semoga, situasi tak tambah memburuk apalagi jika mempengaruahi hasil pemilu yang akan datang. Mari kita saling menasihati. Di Hari Jum’at, Hari Introspeksi ini. Semoga kita tetap Istiqomah. Teman-teman PKS Kaltim tetap sabar dan tegar!

Twitter @Fahrihamzah 28/12/2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Scroll To Top